Cermin
Siang tadi, aku melihatmu. Berjalan menyusuri lorong-lorong terhimpit lemari berisi gelas-gelas kaca. Sepatu botmu mengetuk lantai marmer, suaranya berjalan menjauh dari keberadaanku. Dari tempatku berdiri, aku bersembunyi. Nyaliku ciut jika terlalu dekat denganmu. Kau terlalu bahaya bagi aku yang aman. Terlalu liar, untuk diriku yang jinak. Meski kau memunggungiku, aku bisa membayangkan raut wajahmu yang linglung, tatapan matamu yang meraba ruangan, dan garis bibirmu yang membentuk lembah.
Pandanganku hanya tertuju padamu. Namun, aku ingin lebih dari sekadar menatapmu dari kejauhan.
Lalu, aku melangkah maju.
Aku memberanikan diri mendekatimu. Menepuk punggungmu.
Sedikit lagi, aku dapat melepas rindu.
Tidak lama lagi, aku dapat bercerita tentang malam syahduku yang isinya hanya mimpi-mimpi mengenaimu.
Tetapi ketika jemariku hanya tinggal menyentuh pundakmu, kau menjauh. Darahku berdesir dan tubuhku basah oleh rasa penasaran. Kupercepat langkah kakiku, berharap sebentar saja menatap wajahmu tetapi kau malah asyik bermain kejar-kejaran.
Mendadak kau berhenti berlari. Sepatu botmu tidak lagi bergaung antara lantai dan udara. Badan kuluruskan. Nyali kupersiapkan.
Aku sudah siap. Aku sudah siap. Ucapku layaknya sebuah mantra.
Namun, ketika tubuhmu menghadapku, aku hanya menemukan selongsong terbuat dari cermin. Memantulkan raut wajahku yang hambar.